Galungan, Kemenangan Untuk Semua

Hari suci Galungan bagi umat Hindu adalah hari kemenangan. Di India juga dikenal hari suci serupa yang disebut Sraddha Wijaya Dasami, yakni hari kemenangan yang dirayakan selama 10 hari. Sraddha Wijaya Dasami umumnya dirayakan di seantero India, dikaitkan dengan kemenangan Sri Rama melawan Rawana. Pada hari suci itu banyak umat yang melakukan Durga Puja (pemujaan kepada Dewi Durga). Di Bali sendiri hari suci Galungan ini dikaitkan dengan mitos kemenangan Dewa Indra melawan raksasa yang bernama Mayadanawa.
Raksasa atau kaum asura dalam mitos tersebut menggambarkan sifat asurisampad dalam diri manusia. Asurisampad adalah kecenderungan sifat-sifat jahat yang terdapat pada diri manusia. Sementara itu perwujudan Dewa dalam mitos tersebut melambangkan daiwisampad, yakni kecenderungan sifat-sifat yang baik dalam diri manusia. Dengan daiwisampad manusia akan memiliki kecenderungan berbuat menurut kebenaran (dharma). Sementara asurisampad akan membuat manusia cenderung menentang kebenaran atau berperilaku adharma.
Galungan dalam sistem pawukon jatuh pada Buddha Kasih wuku Dungulan. Kata ‘dungulan’ berasal dari kata Jawa Kuna ‘dungul’ yang berarti ‘menaklukkan, memenangkan’. Kemenangan pada zaman dahulu biasanya didapatkan dari peperangan. Oleh karenanya Galungan juga dimaknai sebagai peperangan, terutama perang antara dharma melawan adharma.
Seseorang yang senantiasa berjalan di jalan dharma dan berpegang kepada ajaran dharma, maka dia akan mendapat perlindungan dari dharma itu sendiri sebagaimana tersurat dalam Manawa Dharma Sastra VIII.15 yang menyatakan:
धर्म एव हन्तो हन्ति धर्मो रक्षति रक्षितः ।  तस्माद्धर्मो न हन्तव्यो मा नो धर्मो हन्तो ऽवधीत्
(Dharma yang dilanggar akan menghancurkan pelanggarnya. Dharma yang dipelihara akan melindungi pemeliharanya. Oleh karenanya dharma jangan sampai dilanggar, melanggar dharma akan menghancurkan kita sendiri)
Sebagaimana makna dari sloka tersebut, maka sesungguhnya esensi dari kemenangan dharma itu ada pada pelaksanaan dharma itu sendiri. Jika seluruh umat Hindu sudah melaksanakan swadharmanya dengan baik, maka itulah kemenangan dharma yang sebenarnya. Kemenangan dharma berarti pula kemenangan umat Hindu. Untuk mewujudkan kemenangan semacam ini maka, yang harus kita perangi adharma yang menyusup dalam benteng pertahanan dharma kita.
Perang antara dharma melawan adharma hakikatnya merupakan pergulatan yang dianalogikan dengan perang Bhàratayuddha di mana tubuh manusia sebagai ladang kuru ksetra.  Peperangan selalu berlangsung setiap saat. Dharma dan daiwisampad yang ada dalam dirinya akan terus berperang melawan adharma dan asurisampad yang menyatu dalam dirinya. Sebelum kita bisa memenangkan peperangan-peperangan di luar diri kita, maka kita harus bisa memenangkan peperangan dalam diri sendiri. Jika kita mampu mengalahkan asurisampad yang ada dalam diri kita, maka kita akan menjadi pemenang yang sesungguhnya.
Seperti dijelaskan dalam Kakawin Ramayana I.4: “ragadi musuh maparo, rihatya tonggwanya tan madoh ring awak (nafsumu adalah musuh yang terdekat dengan dirimu, dihatilah tempatnya tak jauh dari badan)”. Menurut kutipan ini, musuh abadi manusia bukanlah setan atau iblis, tetapi nafsu yang bercokol di dalam dirinya sendiri. Hanya saja manusia sering kali melemparkan kesalahan dan kekhilafan itu pada setan atau iblis untuk melakukan pembenaran. Hati dan pikiran manusia adalah sarang setan yang sesungguhnya, demikian kata Bang Iwan Fals pada saat konser kemenangan di monas beberapa waktu lalu.
Senada dengan hal tersebut, Sarasamuscaya 80 menyebutkan:
मनो हि मूलं सर्वेसामिन्द्रयानम्प्रवर्तते । शुभाशुभस्ववस्थासु कार्यं तत्सुव्यवस्थितम् ॥
Pikirkanlah asal mula indriya dapat beraktifitas. Pikirkanlah yang menetapkan untuk berbuat dalam segala hal, apakah berbuat baik atau buruk.
Otak dan pikiran manusia bisa menjadi kawan juga bisa menjadi lawan. Jika otak manusia dijejali dengan pemikiran yang benar maka, otak itu akan bisa mengarahkan manusia ke jalan yang benar. Sebaliknya jika otak manusia sudah diracuni dengan pemikiran yang sesat, maka otak itu akan menjerumuskan manusianya ke jurang kesengsaraan.
Kerusuhan, teror dan perang yang mengatasnamakan agama akhir-akhir ini adalah akibat adanya pencucian otak (brain washing) oleh orang-orang yang berpikiran sesat. Melalui brain washing ini mereka melakukan doktrinasi ideologi untuk memonopoli Tuhan dan Surga-Nya. Ideologi sesat ini mengajarkan kepada pengikutnya bahwa mereka bisa masuk surga dengan jalan mati atau membunuh orang-orang yang dianggap musuhnya. Kapolri, Tito Karnavian di beberapa media sempat mengatakan bahwa jalan membunuh dan bunuh diri yang mereka lakukan itu dianggap sebagai amaliyah dan dengan begitu mereka bisa mendapat surganya.
Doktrinasi perihal monopoli surgawi ini nyata-nyata telah membutakan mata hati para pelaku teror sehingga mereka rela mengorbankan dirinya sendiri, keluarga, dan orang-orang yang dianggapnya sebagai musuhnya. Jika mereka sudah bisa mati dengan cara tersebut, menurut doktrinnya mereka dianggap telah “menang” dan akan sampai ke surga. Semua sepakat bahwa ideologi semacam ini adalah sesat. Dan itu pun bukanlah ajaran salah satu agama. Ini justru produk dari adanya kesalahpahaman mereka terhadap ajaran agama yang dianutnya.
Dalam Hindu, kemenangan dengan menghancurkan sendi-sendi perdamaian sebagaimana yang dilakukan oleh para teroris tersebut tentu bukanlah kemenangan dharma sebagaimana diamanatkan dalam perayaan hari suci Galungan. Karena kemenangan dharma yang sesungguhnya adalah manakala bisa membuat semua menjadi damai (sarwesam santir bhawantu).
Galungan harus bisa mengentaskan semua dari kesusahan (galung ing ageleng). Galungan juga harus bisa menjadi jalan yang terang untuk menyatukan semua (galang ing agolong). Untuk itu dalam memaknai Galungan itu sendiri umat Hindu harus mengedepankan pengendalian diri atas pikiran, perkataan, dan perbuatan (gelung agulung gelang). Selain itu peperangan yang dimaksudkan dalam perayaan Galungan bukanlah dengan musuh sesama manusia seperti pemikiran para teroris di atas, melainkan dengan diri sendiri.
Oleh karenannya dalam rangkaian Galungan ini, musuh itu dilambangkan dengan turunnya sang kala tiga, tepatnya 3 hari sebelum Galungan. Sang kala tiga ini merupakan simbol nafsu dalam diri yang menjadikan sesamanya sebagai musuh (kala galungan), ingin menang atau merasa benar sendiri (kala dungulan), dan hasrat ingin menguasi yang lain (kala amangkurat). Dan sangkala tiga ini harus ditampah (dimatikan) pada saat penampahan (sehari sebelum Galungan), baru setelah itu kita bisa merayakan kemenangan dharma keesokan harinya.
Di sini, sangat penting untuk menjauhkan diri kita dari sifat-sifat jahat tersebut. Untuk itu yang perlu kita kedepankan adalah sifat-sifat sabar (dama), maaf (ksama), dan cinta kasih (karuna) yang dilandasi oleh semangat tat twam asi dan wasudhaiwa kutumbakam. Kemenangan dharma tidak akan berarti apa-apa, jika kita masih menebar kebencian kepada orang lain dengan menganggap orang yang tidak sama atau beda agama sebagai musuh kita.
Perbedaan dalam kehidupan beragama merupakan suatu hal yang biasa. Tetapi jika perbedaan itu pertentangkan satu dengan yang lain, maka ini akan menjadi awal dari suatu bencana. Seperti sebuah ungkapan Sanskerta yang menyebutkan “भेदः समिकर्तं नेषति । समः भेदकरं नेषति ॥ (yang beda tidak perlu disama-samakan dan yang sudah sama tidak perlu dibeda-bedakan)”. Setiap agama tentu memiliki sisi-sisi yang berbeda terutama dalam hal peribadatan. Namun nilai-nilai moral dan humanisme yang bersifat universal tentu ada dalam setiap agama. Persamaan inilah yang mestinya dikedepankan dalam hubungan antar umat beragama.
Spirit ini sebenarnya sudah diajarkan dalam Weda. Hyang Widdhi bersabda dalam Yajur Weda XL.6: यस्तु सर्वाणि भूतन्यात्मन्नेव अनुपश्यति ।  सर्वभूतेषु चात्मनां ततो न वि चिकित्सति ॥ (seseorang yang melihat-Ku berada pada setiap mahluk dan kemudian melihat semua mahluk ada pada-Ku, ia tidak akan membenci yang lain). Mantra dalam Weda ini menginspirasi kita untuk sama-sama berbagi Tuhan dalam kehidupan kita. Dan kita tidak boleh memonopoli Tuhan sebagai milik kita saja. Jika spirit ini dibangun dalam kehidupan bersama, maka kedamaian akan ada di dunia. Dan kemenangan dharma sebagaimana yang kita maknai dalam perayaan hari suci Galungan akan menjadi kemenangan untuk semua.

Oleh: Miswanto
Ketua MGMP PAH SMP Provinsi Jawa Timur dan Wakil Sekjen PP Perkumpulan Acarya Hindu Nusantara.
(Tulisan ini pernah dimuat di Majalah BIMAS HINDU)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *